Info Admin 0852 7005 5040 pin 5cad584a

Selasa, 12 April 2016

Makalah Muhammad Rizki Akbar Siregar- Fikih Sholat Musafir dan Orang sakit

Sholat Orang Sakit dan Musafir
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Fikih"
Dosen Pengampu
Sultoni Trkusuma, MA

Disusun oleh
Muhammad Rizki Akbar Siregar
Amar

Semester II PAI Khusus
Universitas AL-Washliyah
2015-2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa terkecuali bagi muslim yang sudah mukallaf.
Beberapa ulama' juga menjelaskan bahwa sholat juga merupakan penjaga keyakinan, pimpinan ibadah dan ta'at.
Hamba yang condong pemikirannya untuk mendekatkan diri pada Allah tentulah akan memberikan sholat terbaik kepada Allah meskipun ia dalam keadan sehat maupun sakit, baik dalam keadaan mukim ataupun musafir. Tapi tentulah ada cara kemudahan (rukhsoh) yang telah di berikan Allah kepada hambanya untuk mempermudah ibadah kepada-Nya. Bagi orang sakit di berikan kemudahan sesuai kemampuan dan musafir di beri qoshor dan jama'.
Inilah yang akan menjadi bahasan pokok di makalah kami kali ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Rukhsoh?
2. Bagaimana saja hukum hukum rukhsoh sholat bagi orang sakit?
3. Bagaimana tatacara pelaksanaan sholat bagi orang sakit?
4. Apa dasar hukum rukhsoh sholat bagi musafir?
5. Kapan mulai dan akhir sholat bagi musafir?
6. Apa syarat mengqosor sholat?
7. Apa itu menjama' sholat?
8. Apa syarat mentaqdim sholat?
9. Apa syarat mentakkhir sholat?

BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian Rukhsoh
Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tak ada satupun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.al-Baqoroh: 286)
Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin  agar bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka. Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
Di dalam hal ini ada satu istilah yang di sebut رخصة yang berasal dari bahasa arab yang berarti keringanan, kemurahan atau izin
Di dalam istilah ushul fiqh rukhsoh berarti hukum yang merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rukhsoh adalah keringanan yang di berikan Allah kepada hambanya untuk memudahkan pelaksanaan yang awalanya di rasa sulit oleh hambanya agar menjadi mudah.
Ini sesuai dengan firman Allah:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menginginkan akan kalian kemudahan dan tidak menginginkan akan kalian kesukaran" (Q.S Al-Baqoroh 185)

Diantara banyak rukhsoh yang diberikan Allah diantaranya yaitu rukhsoh ibadah sholat bagi orang sakit dan musafir yang selanjutnya akan di paparkan di pemaparan berikut:

1. Rukshoh Sholat bagi orang sakit
A.    Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit
Diantara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut:
a.    Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)


عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال: كانت بي بواسير، فسألت النبي ص. م. عن الصلاة فقال: صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب. رواه البخاري

Dari Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau shollallahu’alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori dalam kitab Bulughul Marom no. 358)

b.    Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjama’ (menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik dengan jama’ taqdim atau takhir, dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Ibnu Abbas katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar." Abu Zubair mengatakan; "Aku bertanya kepada Sa'id; "Mengapa beliau melakukan hal itu? Dia menjawab; Aku bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana kamu bertanya kepadaku, lalu dia menjawab; "Beliau ingin supaya tidak merepotkan (memberatkan) seorangpun dari umatnya." (HR. Muslim)

c.    Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama akalnya masih baik

d.    Orang sakit yang berat shalat jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:
“Perintahkan Abu Bakar radliyallahu’anhu agar mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)

B.    Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit
Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:
a.    Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah azza wa jalla berfirman:
وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ….
”Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)

b.    Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan ruku’ dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.

c.    Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain di atas tadi. Orang tersebut juga sebaiknya duduk bersila, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat dengan bersila”.
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.
Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri

d. Dalam keadaan sakit namun masih mampu untuk turun sujud, maka masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqqun a’alaihi).
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.

e.    Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran bin al-Husain radliyallahu’anhu di atas tadi. Dalam hadits itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ

”Adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).

f. Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:
1)      Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman hamidah” lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
2)      Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.

g. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”

h.     Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.

i.    Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا      
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).
j.    Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

k.     Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.

l.      Apabila telah mampu sholat sempurna orang yang sakit dan di masa sakitnya ia sholat dengan keadaan sholat sakit. maka wajib atasnya untuk sholat sempurna saat itu dan tanpa mengulang sholat ketika ia sakit dahulu.


2. Rukhsoh bagi musafir
 Rukhsoh sholat bagi musafir ada dua yaitu dengan Qoshor dan jama'.
Qoshor adalah meringkas sholat dari empat raka'at menjadi dua. Sedangkan jama' adalah menggabungkan dua sholat di dalam satu waktu. yang selanjutkan akan di paparkan di pemaparan berikut:
A.      Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat
a.       Negeri yang dituju harus ditentukan. Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar shalatnya atau tidak.
b.      Maksud perjalanannya harus mubah bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah  untuk mengqashar shalat dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.

c.       Negeri yang ditujuh harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan jarak menurut jumhur ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64 Km), yakni harus lebih dari 80.64 km.
عن ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ كَانَا يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَهَا (البيهقي بإسناد صحيح)
Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra bershalat dua raka’at dan tidak berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid” (HR Baihaqi dengan isnad shahih).

d.      Shalat yang diqashar (dikurangi) harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at yaitu shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’,

e.       Harus melakukan niat mengurangi (mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena asal shalat yang diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at harus diniati sebelum takbiratul ihram.

f.       Tidak boleh bermakmum dibelakang orang yang shalatnya sempurna
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَما سُئِلَ : مَا بَالُ الْمُسَافِرِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إذَا انْفَرَدَ وَأَرْبَعًا إذَا ائْتَمَّ بِمُقِيمٍ ؟ فَقَالَ تِلْكَ السُّنَّةُ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, ia ditanya: kenapa musafir bershalat dua raka’at jika sendiri dan empat raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia menjawab ”itu adalah sunnah” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunah Nabi saw.
B.      Menjama' (Menggabung) Shalat
Bagi musafir boleh menjama’ (menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam waktu maghrib atau dalam waktu isya.
Jadi seorang musafir boleh men-jama’ (menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw menjama’ (menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR Muttafaqun ’alih).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه الشيخان)
Begitu pula hadits dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan menjama’ (menggabung) keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan. (HR Bukhari Muslim).

1.      Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat

a.       Shalat yang pertama harus didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat isya’)

b.      Harus niat menggabung (jama’) antara shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan waktu melakukan shalat pertama. (niat dalam hati tak perlu ditalqilkan)

c.       Kedua shalat harus dilakukan secara berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda terlalu lama atau jangan diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat dianggap satu shalat. Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat

d.      Harus masih dalam keadaan musafir sewaktu melakukan shalat kedua.

2.      Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat
a.       Niat menunda (men-takhir) shalat pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda shalat Dhuhur ke waktu shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak shalat), begitu pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu shalat Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
b.      Harus masih dalam keadaan musafir saat selesai sholat kedua

C.      Mulai dan Selesai Shalat Musafir

a.       Permualaan shalat musafir dimulai dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati perbatasan negerinya.

b.      Menurut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i adalah boleh mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.
عَنْ عِمْرَان بْنِ حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ ، فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِي عَشْرَةَ لَيْلَةً لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ ، وَيَقُولُ : يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ (رواه أبو داود و البيهقي وحسنه الترمذي)
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami berperang bersama Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan kami duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar). Rasulallah saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya kami orang orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dan At-Tirmidzi mejadikan hadits ini hasan).
Namun ada beberapa perbedaan hadis di dalam kitab Bulughul Marom yakni 15, 17, 19 hari wallahu a'lam

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-Rukhsoh adalah keringanan yang di berikan Allah kepada hambanya untuk memudahkan pelaksanaan yang awalanya di rasa sulit oleh hambanya agar menjadi mudah.
-Sholat tetap wajib hukumnya dalam situasi dan kondisi apapun.
-Sholat bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing.
-Rukhsoh bagi musafir ada dua: menhqosor sholat dan menjama'nya.
-Qoshor ialah mengutangi rakaat dalam sholat yang empat rakaat menjadi dua.
-Jama' di bagi menjadi dua jama' Taqdim dan Jama' takkhir.
-Jama' taqdim adalah menggabungkan sholat dalam satu waktu yang dilakukan di awal, misal menjama' Zhuhur dan Ashar dikerjakan di dalam waktu zhuhur.
-Jama' takhir adalah menggabungkan sholat dalam satu waktu yang dilakukan di akhir, misal menjama' Zhuhur dan Ashar dikerjakan di dalam waktu Ashar.

Daftar Pustaka
-Shihih Bukhori oleh Imam Bukhori
-Shohih Muslim oleh Imam Muslim
-Bulughul Marom oleh Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-syafi'i
-Maui'zhotul Mukminin oleh Jamaluddin
-Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Jakarta: CV. Sinar Baru Algesindo, cetakan 2014)
-Mudjid, Abdul, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: CV. Kalam Mulia, 2011
-Abidin, S.A. Zainal, Kunci Ibadah, (Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang, 2001)
-Hamid ,Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
-Haryono, Sentot, Psikologi Salat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).
-Ritoga, A. Rahman, M.A. Dr. Zainuddin, M.A, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
-Sayyid Sabiq. Fiqh Ibadah. Darul Fath. Jakarta. 2010
-http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/04/13/shalat-orang-yang-sakit/